Latest Posts

Film Indonesia, Riwayatmu Kini...

By 4:41 am



hasil liputan tahun 2010 (jebot -yeah!) ga pernah kesentuh dan bahkan lupa pernah nulis ginian. dipublikasiin buat tugas produksi majalah yg bahkan gue seumur-umur cuma liat skali tu mjalah (pas mau dikumpul)...intinya 'what a waste'. 

fyi gue nonton ni film bgitu ni film uda basi dan bahkan nontonnya di tv 5 Perancis dengan subtitle Inggris 

Film adalah dunia dua dimensi pencipta budaya. Saat film ‘Catatan Si Boy’ dirilis di akhir tahun 80-an, film ini sukses menjadi kiblat trend pakaian anak muda pada masa itu, tidak terkecuali trend nongkrong di kawasan Melawai. Pada tahun 2002, trio Mira Lesmana, Riri Riza, dan Rudi Soedjarwo, menciptakan ‘Ada Apa dengan Cinta?’, sebuah film yang berhasil mencetak sejumlah anak muda menjadi pujangga dadakan dan menenteng-nenteng buku Aku karya Chairil Anwar. Film bukan lagi sekedar media komunikasi massa.

Film yang baik adalah film yang menawarkan ‘sesuatu’. Ketika seseorang sudah duduk di dalam bioskop, dihadapkan dengan layar berukuran besar dalam ruangan gelap, film sepenuhnya akan milik penonton. Dalam ruangan tertutup yang disebut bioskop, penonton akan berkonsentrasi dan menangkap ‘sesuatu’. Kalau sudah begitu, sutradara hanya bisa pasrah dan mengandalkan daya tangkap para penonton. Akankah pesan yang ia sampaikan ditangkap dengan benar oleh mereka atau tidak.

Para sineas film patut berterima kasih pada teknologi. Kini, teknologi sinematografi memiliki peran besar dalam sebuah film. Tekhnik sinematografi sekarang lebih maju dan tentu hal ini dapat memudahkan sutradara untuk menyampaikan pesan yang ia maksud. Meski, lagi-lagi, semua tergantung oleh daya tangkap penonton dan faktor individunya masing-masing.

Apakah hal ini berarti bagus? Bisa iya, bisa tidak. Menurut Ketua Forum Film Bandung, Eddy D. Iskandar, saat ditemui di kantor redaksi Galura, Jalan Belakang Factory No. 2A, Bandung, Jumat (26/3), ada perbedaan mendasar antara film Indonesia sebelum dan sesudah era reformasi. “Film di era reformasi berkembang dari sisi teknologi. Kalau nonton film sekarang sinematografinya kuat gitu, tekniknya gitu, hal yang tidak dimiliki semacam Teguh Karya dan yang lain-lain,” ujarnya menjelaskan. Namun, lanjutnya, hal tersebut justru menghilangkan detail dari sebuah film.

Dulu, saat orang harus membuat sebuah film maka mereka akan berpikir mengenai kostum dan segala macamnya. Kini, dengan kecanggihan teknologi hal tersebut bisa diakali. Misalnya saja sebuah film horor, untuk membuat kesan yang mencekam, sutradara ‘menteror’ penonton dengan kamera canggih dan bunyi-bunyian. Berbeda dengan film dahulu yang bertumpu pada alur cerita yang kuat.

Akibatnya, ketika orang keluar dari bioskop, ia akan kesulitan untuk menceritakan film yang baru saja ia tonton. Mungkin saja pesan yang disampaikan oleh film tersebut sampai dengan baik, tetapi bisakah kita menyampaikan kembali pesan yang disampaikan itu? “Kalau dulu, sinematografinya kurang tetapi orang bisa bercerita. Pola ceritanya kuat,” ujar Eddy.

Eddy menuturkan kalau film setelah era reformasi tidak menggambarkan budaya Indonesia. Dari hal kecil saja, misalnya menanak nasi atau sarapan dengan menu nasi goreng. Menurutnya, kini, hal-hal seperti itu dianggap tidak efisien, “Orang digambarkan sarapan dengan roti. Kita jadi kehilangan kultur,” lanjutnya. Terpaan film mancanegara yang semakin meningkat di era reformasi, menurutnya juga turut mempengaruhi. “Coba nanti Anda tonton film ‘Macan Kemayoran’, rasanya akan sangat berbeda dengan film-film sekarang,” tuturnya memberi saran.

aauuw, mas boy yang gaul tapi alim. kalo jaman sekarang istilahnya penghibridaan antara anak rohis dan abas (anak basket) eksis

Seperti yang disebutkan sebelumnya, film adalah pencipta budaya, maka di dalam sebuah film terdapat ‘sesuatu’ yang ditawarkan. ‘Sesuatu’ yang berpotensi menjadi budaya di masyarakat. Saat membicarakan film ‘Catatan Si Boy’, tidak ada yang bisa melupakan karakter tokoh utama yaitu Boy yang diperankan oleh Ongky Alexander, seorang anak muda yang tidak hanya gaul dan kaya raya, tetapi juga rajin beribadah. Tokoh Rangga dalam ‘Ada Apa dengan Cinta?’ juga memberikan ‘sesuatu’ pada penontonnya, yaitu apresiasi dan kecintaan terhadap karya sastra Indonesia.  

Keduanya berasal dari era yang berbeda, namun kalau mau diambil sebuah persamaan, keduanya menawarkan budaya. Budaya yang dapat mewakili Indonesia. Tentunya, bangsa ini pasti ingin memiliki generasi muda yang rajin beribadah dan cinta terhadap karya sastranya sendiri.

Kualitas Film Indonesia
Indonesia sedang diteror. Diteror oleh pocong, kuntilanak, dan teman-temannya. Namun, jangan takut dengan mereka. Mereka tidak menakutkan, malah film ini menawarkan hal lain selain rasa takut, yaitu sensualitas. Mereka datang dalam bentuk ‘baru’ yang jauh lebih ‘berani’.

Menjamurnya film horor berbau pornografi, tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada penonton. Kalau para produser film-film horor vulgar berkilah dengan alasan mengikuti pasar, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Menurut Eddy, produser dapat menggiring penonton menonton film buatannya, tanpa harus mengikuti ‘pasaran’ yang ada.

Eddy menjelaskan bahwa film bagus itu adalah film yang memiliki jalan cerita dan publikasi yang bagus. Bila produser bisa melakukan kedua hal tersebut, otomatis penonton akan ‘tergerak’ kemaunnya untuk menonton film yang ia buat. “Hal itulah yang tidak dimiliki produser-produser film hantu,” tambahnya. Ia lalu mengambil contoh dengan apa yang dilakukan oleh Mira Lesmana dan Riri Riza saat memproduseri film ‘Ada Apa dengan Cinta?’ dan ‘Petualangan Sherina’. Menurutnya, apa yang dilakukan mereka ini tidak mengikuti selera pasar. Mereka memikirkan betul segi cerita dan publikasi, sehingga film itu pun sukses.

Lalu, apakah kemunculan film horor ‘bentuk baru’ ini menandakan kemerosotan kualitas film produksi Indonesia? Menurut Eddy, kita ambil saja segi positifnya, yaitu dari segi kuantitas, film Indonesia semakin meningkat. Lagipula, menurutnya, sampai kapanpun, film-film seperti itu (film horor ‘bentuk baru’) akan selalu ada. Alasannya, antara lain karena film-film tersebut mudah untuk dibuat, tidak perlu menggunakan bintang film berhonor mahal dan harga produksinya pun murah.

judul revolusioner melampaui EYD. I'd rather watch Sasha Grey in her native habitat -well, adult.

Eddy kembali menjelaskan, bahwa ada 3 macam film, yaitu film yang bertujuan komersial belaka, film yang bertujuan untuk komersial namun tetap punya tanggung jawab, dan yang terakhir, film ekspresi individu. Film-film horor berbau pornografi yang menjamur sekarang berada dalam kategori pertama. Penontonnya pun, paling banyak mencapai angka satu juta. Sedangkan film-film seperti ‘Laskar Pelangi’, ’Ayat-ayat Cinta’, dan ‘Ada Apa dengan Cinta?’, berada pada kategori kedua. Untuk kategori ketiga, Eddy menaruh contoh film ‘Opera Jawa’-nya Garin Nugroho.

Untuk segi kuantitas produksi, film kategori pertama dan kedua sebetulnya berimbang. Lalu mengapa kita merasa film-film horor berbau pornografi tersebut lebih menjamur ketimbang yang lainnya? “Karena diteror, ada (judul) pocong ini, pocong itu, sementara film hiburan (film yang masuk dalam kategori kedua) judulnya lain-lain. Jadi, (film horor) serasa banyak,” ujar Eddy memberi alasan.

Terbentur Kepentingan Daerah
Kalau mau sukses, datanglah ke Jakarta. Mau jadi bintang film? Tinggalkan kampung halaman, jangan lupa bermodal bakat (atau nekat), dan datanglah ke sana. Urbanisai ternyata bukan permasalahan pemerintah saja, tetapi juga bagi para pelaku perfilman Indonesia. Hingga saat ini, industri film masih berpusat di kota metropolitan itu, Jakarta-sentris.

Kota Bandung boleh bangga karena hingga saat ini masih menjadi barometer sukses tidaknya sebuah film Indonesia. Produser-produser masih mengutamakan Kota Bandung sebagai tujuan pemasaran filmnya. Bila sebuah film banyak meraup penonton di Kota Bandung, niscahya film tersebut akan sukses. Hal ini membuktikan bahwa apresiasi masyarakat Bandung terhadap sebuah film dianggap tinggi oleh para pelaku produser film.

Sayangnya, hal tersebut tidak terjadi bila berbicara mengenai produksi film. Hingga saat ini, jumlah rumah produksi di Bandung masih kalah jauh dengan Jakarta. Apabila ingin casting, seseorang harus pergi ke Jakarta. Terbilang ironis karena dalam urusan sejarah film, Bandung tidak kalah dengan Jakarta. Menurut keterangan The Teng Chun di dalam buku Film Indonesia Bagian I adalah buatan Bandung. Besar kemungkinan yang membuat film bersuara pertama di Indonesia adalah Krugers dan Wong. 

pribadi saya belum pernah nonton ni film tapi yang pasti bioskop ELITA udah tinggal nama

Menurut Eddy, berbeda dengan musik, film tidak bisa ‘berdiri’ sendiri. Kemudahan masih berpusat di Jakarta. “Karena di sana lebih leluasa,” jelas Eddy. Dari contoh kecil saja, untuk urusan teknis seperti kamera, sarana dan prasarana seperti itu lebih banyak dan terbuka di Jakarta. Istilah ada gula ada semut, di Jakarta jumlah rumah produksi lebih banyak ketimbang di daerah, jadi para pemilik rumah produksi lebih memilih untuk membangun usahanya di sana. Para aktor dan aktris juga banyak bertempat tinggal di Jakarta.

 Bicara mengenai film, tutur Eddy, bila menyangkut daerah akan sulit. Banyak faktor yang akan mempengaruhi, salah satunya masyarakat dan kepentingan daerah. Eddy menolak bila kesulitan itu menyangkut SDM (Sumber Daya Manusia), karena menurutnya toh film independent sudah merambat hingga ke daerah-daerah. Yang menyulitkan, bila menyangkut film non-independent, adalah sarana dan prasarana yang harus dibangun dari awal.

Film boleh saja menjadi sekedar penghibur, tapi bahkan seorang penghibur pun memiliki tanggung jawab. Kalau hanya sekedar model berpakaian dan rambut yang ‘ditelan bulat-bulat’ dari sebuah film, mungkin masih bisa dimaafkan. Namun, apabila itu sudah menyangkut sisi psikologis, perilaku, dan mengubah sebuah budaya ke arah yang negatif, semua yang akan sengsara. Kita tidak bisa mengambil kembali umpan yang sudah termakan, kan?

You Might Also Like

0 comments