Latest Posts

Di Suatu Gerbong Kereta

By 8:10 am

Stasiun Purwakarta. Photos: Handa



Tak ada manusia yang benar-benar merdeka. Bahkan nama adalah doa yang mengikat hingga mati.

Pada suatu siang di gerbong kereta menuju kota Bandung, saya duduk bersebelahan dengan seorang bapak berpakaian rapi. Terlalu rapi untuk seorang penumpang di kelas bisnis. Sempat ada rasa kecewa di hati muda saya, 'Ah, kenapa saya tak pernah sebangku dengan lelaki muda tampan yang kemungkinan besar tersesat dan butuh kawan berpetualang?' Tetapi sudah sekian lama saya menerima nasib bertemu dengan orang-orang tua. Mungkin jiwa saya memang tua atau mungkin ini adalah pelajaran dari Yang Kuasa untuk lebih banyak belajar kearifan dari orang tua. Mungkin.

Kereta berjalan dan saya memasang headset, sebagaimana anak muda di abad ke-21 pada umumnya. Namun, bapak itu tetiba mengajak saya berbicara dan karena saya merasa tak enak, saya meladeni. Untunglah saya dilahirkan dengan kemampuan mendengarkan yang sempurna, jadi saya merasa tak keberatan mendengarkan kisah sang bapak. Obrolan pun dimulai. "Saya hendak menghadiri pernikahan anak buah saya," ujarnya. Wah, sangat rendah hati sekali seorang atasan mau repot-repot menghadiri pernikahan bawahannya dengan menggunakan kereta. "Kenapa enggak memilih di bangku eksekutif, pak?" tanya saya. "Wah, saya enggak tahu. Ini OB yang memesankan. Saya sih iya-iya saja hehehe," tawanya.

Dan ya, saya tidak menyesali keputusan melepaskan headset saya itu. Bapak ini menuturkan kalau inilah pertama kalinya sejak 15 tahun ia kembali menaiki kereta api. "Dan tidak ada perubahan yang signifikan," ujarnya dan saya mengamini dengan segenap hati. Ia lalu bercerita tentang masa mudanya yang dihabiskan dengan menjadi ahli membuat proposal di kampus dan seorang pemain basket. Hah, bapak ini dulunya adalah lelaki populer dengan banyak pacar, begitu pikir saya. Dan ternyata memang benar. Ia masih memiliki daya tarik tersebut meski sudah berusia 40-an.

"Saya sangat mengidolai Soekarno," lanjutnya lagi. Sejak kecil, ia dididik oleh sang ayah untuk mencintai sang proklamator. Seluruh buku biografinya sudah ia baca dan tak heran jika kini ia adalah simpatisan partai kepala banteng. Obrolan kemudian berlanjut tentang bagaimana tim sukses Jokowi bisa memenangkan pemilu hingga fakta bahwa melobi polisi dan jaksa melibatkan seks dan uang. "Itulah kenyataan pahit. Itu pekerjaan saya sehari-hari," ujarnya. Bapak ini bekerja sebagai legal di bank BUMN di Indonesia. "Banyak teman saya yang bekerja di luar negeri tak mau kembali ke Indonesia karena fakta itu. Yaitu di Indonesia Anda harus pintar menjilat dan melobi. Saya sih dibawa senang saja," ujarnya sembari tersenyum.

Namun, dari sekian kisah yang ia utarakan, satu hal yang menyangkut di pikiran saya. "Saya tidur hanya 2 jam sehari. Mungkin karena saya workaholic. Ketika akhir pekan pun handphone saya tak berhenti berdering. Saya tak bisa lepas dari ini...Hahaha menjadi manusia merdeka itu susah, dek. Tak ada manusia yang benar-benar merdeka," kisahnya. Saya terdiam sejenak. Bahkan seorang lelaki suskes berusia 40-an masih belum bisa merdeka.Kami lalu bertukaran nomor handphone dan ia menyemangati saya untuk mengambil S2 ataupun short course di luar negeri. "Mumpung masih muda dan punya banyak tenaga," jelasnya.

Kemudian ia mengajak saya untuk sesekali bertemu sembari meminum kopi. Saya mengiyakan sekaligus menyayangkan mengapa ini tak terjadi dengan lelaki muda tampan yang tersesat. Ah, sudahlah toh itung-itung tambah relasi. Sesudahnya saya iseng mencari jati diri bapak ini. Karena keahlian kepo saya melebihi peneliti CIA, langsunglah saya dapat akun linkedin bapak ini. Dan ya, saya tidak menyesal sama sekali. Ia adalah Asisten Vice President of Legal Bank Mandiri Indonesia.

You Might Also Like

0 comments