Latest Posts
Foto: dok. istimewa


Saya tak menyadari bahwa kesempatan mewawancarai Gusti Kanjeng Ratu Hemas adalah sebuah perkara besar hingga akhirnya tulisan saya diedit oleh editor-at-large di kantor saya. Karena begitu antusias dengan sosok Ratu Tanah Jawa (dan tulisan sistem kebut semalam perkara jadwal wawancara dan deadline) hingga saya pun tak sempat mengedit tulisan saya yang ternyata kontroversial itu.

"Dia ini seorang Ratu. Harusnya yang mewawancarainya adalah setingkat Editor-in-Chief atau Managing Editor, bukan reporter," ujar Editor-at-Large saya itu. Di situlah saya baru menyadari kalau apa yang saya lakukan sama saja dengan jurnalis yang hendak mewawancari Ratu Elizabeth. Saya merasa bersalah sekaligus bangga. Bersalah karena merasa meloncati wewenang dan bangga karena itu kesempatan langka.


"Keluarga saya bukannya memandirikan perempuan, tetapi orangtua memperlakukan kami secara sama"

Ide mewawancarai GKR Hemas sebetulnya datang dari Editor-in-Chief saya dan saya menyanggupi sepenuh hati karena jiwa feminis saya penasaran. Saya ingin melihat sudut pandang Ratu Tanah Jawa yang terikat adat istiadat tetapi kini menjadi pemimpin di pemerintahan. Saya ingin tahu bagaimana ia meneruskan takhta sedangkan kelima anaknya adalah perempuan. Bagaimana ia dan Sri Sultan menghadapi zaman modern yang berbenturan dengan budaya patriarki tanah Jawa.

Pada akhirnya ketika saya berhasil membuat janji wawancara dengan GKR Hemas, saya menyatakan itu adalah salah satu hal terbaik yang pernah terjadi di hidup saya. Ia dengan lantang mengatakan bahwa emansipasi telah usai dan kini tinggal kemauan para perempuan untuk mandiri atau tidak. Ia percaya perempuan bisa memimpin tetapi di satu sisi ia menaati adat istiadat. Ia meninggalkan patriarki tetapi tak melupakan kodratnya sebagai perempuan dan ibu yang hakiki.

Pada versi tulisan saya yang belum disunting, saya menuliskan bahwa ada kemungkinan tanah Jawa dipimpin oleh seorang Ratu. GKR Hemas sendiri tak menjawab pasti pertanyaan tersebut karena ia menyerahkan semuanya kepada Sri Sultan. Sebulan setelah tulisan saya diterbitkan, muncul berita kalau Sri Sultan mengangkat putri pertamanya menjadi Putri Mahkota. Prasangka saya tidak salah dan ya, meski akan ada begitu banyak kontra...kesempatan untuk mengakhiri budaya patriarku tanah Jawa sudah dimulai.

Baca tulisan ini di HELLO! Indonesia edisi April 2015 di sini....


Photos by Rakhmat Hidayat

Begitu banyak wajah cantik bertebaran di layar televisi, tetapi yang membedakan seorang Najwa Shihab dengan anchor lainnya adalah passion. Di zaman yang semakin sulit membedakan mana presenter dan anchor, seorang Najwa membuktikan bahwa seorang anchor bukan wajah cantik yang membawakan berita. Ia lebih dari itu dan saya membuktikannya sendiri di suatu siang di rumah barunya di bilangan jeruk purut.

Sebagai orang yang terdidik dalam ranah jurnalistik, bertemu dengan Najwa Shihab bagai bertemu dengan seorang bintang. Saya sendiri begitu gugup ketika harus menyusun pertanyaan dan pada akhirnya hanya bisa menyiapkan pertanyaan yang ringan. Dan untungnya, Nana (begitu ia biasa dipanggil) bukanlah jurnalis yang seperti itu. Ia tak nyinyir dengan pertanyaan ringan ataupun berat.

Siang itu, Nana mengisahkan mengapa gelar sarjana ekonomi yang ia miliki justru membawanya menjadi seorang jurnalis. Salah satu pernyataan darinya yang begitu saya ingat adalah ketika ia memberikan alasan mengapa ia begitu mencintai dunia jurnalistik. Pernyataan yang didapatnya ketika ia melihat kerabat dekatnya, Andi Malarangeng, dibawa masuk ke bui.

"Menjadi seorang jurnalis membuat saya rendah hati. Saya bisa melihat perputaran hidup seseorang tepat di depan mata saya. Yang tadinya bukan siapa-siapa lalu menjadi pahlawan dan kemudian menjadi pesakitan. Pengalaman itu tak saya dapat dimanapun."


Dan begitu tulisan saya selesai diterbitkan, sebuah tulisan yang saya tulis ala kadarnya karena begitu merasa terbebani akan sosok Najwa...bos saya mengubungi saya. Najwa mengatakan langsung kepada bos saya kalau ia sangat menyukai tulisan saya. Dan ya itu adalah pujian terhebat yang pernah saya dapatkan. Salah satu momen terbaik di masa saya menjadi seorang jurnalis.

Baca artikel 'pujian' tersebut di HELLO! Indonesia edisi September 2014 di sini...




Bisa saya katakan ini adalah wawancara terbaik di sepanjang karier saya sebagai penulis. Saya berkata begitu bukan karena saya pribadi adalah penggemar Abimana Aryasatya, tetapi karena selama proses wawancara, Abimana sangat kooperatif dan apa adanya. Ia tidak menaruh dirinya sebagai narasumber dan saya jurnalis, melainkan ia adalah dirinya dan saya adalah saya tanpa embel-embel jabatan.

Tak banyak aktor yang dengan cuek memilih lokasi wawancara di tangga darurat sembari menghisap sebatang rokok ataupun berdiri di pinggir atap gedung sembari memandang gedung pencakar langit...Abimana melakukannya.

Ia benar-benar terbuka dengan masa lalunya. Ia apa adanya, transparan, dan di luar dugaan. Ia satu-satunya aktor yang terang-terangan berkata ia berakting untuk mengejar materi, tetapi di lain sisi ia tidak peduli ketenaran. Ia tak pernah menonton film yang ia bintangi.

Tak heran hingga akhirnya saya menulis rubrik Heart to Heart ini dengan mood yang sempurna. Saya benar-benar bisa menangkap kisah Abimana yang pahit manis. Ia membenci akting tetapi demi mencari nafkah keluarga, ia melakukannya.

Ia mencari sosok ayahnya yang hilang dan mengubah nama dari Robertino menjadi Abimana, yang kepanjangan dari ayah (Abi) dimana (Mana). Ia pernah hidup di jalanan dan kehilangan arah. Ia bukan kebanyakan aktor yang Anda bayangkan.

Berikut hasil curhatan Abimana di HELLO! Indonesia edisi Maret 2014, baca di sini...




Satu siang bersama seorang Nadya Hutagalung adalah salah satu hal luar biasa yang terjadi di sepanjang karier saya sebagai penulis. Pertemuan saya dengan model, presenter, TV personality sekaligus aktivis lingkungan ini sama sekali tak terencana.

Mulanya saya hanya tertarik datang ke sebuah acara kampanye perlindungan gajah Afrika bertajuk Let Elephants be Elephants. Saya tak mengira kalau kampanye tersebut adalah gagasan Nadya dan saya mendapat kesempatan untuk mewawancarainya langsung. Ini adalah kesempatan langka, mengingat ia tinggal antara di Bali dan Singapura.

Singkat cerita, Nadya adalah sosok yang kalau saja kesempurnaan bukan hanya milik Tuhan, saya mengatakan ia sempurna. Secara fisik tak perlu diragukan, tetapi dedikasinya terhadap lingkungan lah yang membuat saya kagum.

Ia tak hanya mampu mencuri hati tetapi yang terutama adalah ia peduli. Berikut hasil wawancara saya bersama Nadya yang dimuat dalam HELLO! Indonesia edisi Juli 2014. Baca di sini...