Film Indonesia, Riwayatmu Kini...
hasil liputan tahun 2010 (jebot -yeah!) ga pernah kesentuh dan bahkan lupa pernah nulis ginian. dipublikasiin buat tugas produksi majalah yg bahkan gue seumur-umur cuma liat skali tu mjalah (pas mau dikumpul)...intinya 'what a waste'.
fyi gue nonton ni film bgitu ni film uda basi dan bahkan nontonnya di tv 5 Perancis dengan subtitle Inggris
Film adalah dunia dua dimensi pencipta budaya.
Saat film ‘Catatan Si Boy’ dirilis di akhir tahun 80-an, film ini sukses
menjadi kiblat trend pakaian anak
muda pada masa itu, tidak terkecuali trend
nongkrong di kawasan Melawai. Pada
tahun 2002, trio Mira Lesmana, Riri Riza, dan Rudi Soedjarwo, menciptakan ‘Ada
Apa dengan Cinta?’, sebuah film yang berhasil mencetak sejumlah anak muda
menjadi pujangga dadakan dan menenteng-nenteng buku Aku karya Chairil Anwar. Film
bukan lagi sekedar media komunikasi massa.
Film yang baik adalah film yang menawarkan
‘sesuatu’. Ketika seseorang sudah duduk di dalam bioskop, dihadapkan dengan
layar berukuran besar dalam ruangan gelap, film sepenuhnya akan milik penonton.
Dalam ruangan tertutup yang disebut bioskop, penonton akan berkonsentrasi dan
menangkap ‘sesuatu’. Kalau sudah begitu, sutradara hanya bisa pasrah dan
mengandalkan daya tangkap para penonton. Akankah pesan yang ia sampaikan
ditangkap dengan benar oleh mereka atau tidak.
Para sineas film patut berterima kasih
pada teknologi. Kini, teknologi sinematografi memiliki peran besar dalam sebuah
film. Tekhnik sinematografi sekarang lebih maju dan tentu hal ini dapat
memudahkan sutradara untuk menyampaikan pesan yang ia maksud. Meski, lagi-lagi,
semua tergantung oleh daya tangkap penonton dan faktor individunya
masing-masing.
Apakah hal ini berarti bagus? Bisa iya,
bisa tidak. Menurut Ketua Forum Film Bandung, Eddy D. Iskandar, saat ditemui di
kantor redaksi Galura, Jalan Belakang Factory No. 2A, Bandung, Jumat (26/3),
ada perbedaan mendasar antara film Indonesia sebelum dan sesudah era reformasi.
“Film di era reformasi berkembang dari sisi teknologi. Kalau nonton film
sekarang sinematografinya kuat gitu, tekniknya gitu, hal yang tidak dimiliki
semacam Teguh Karya dan yang lain-lain,” ujarnya menjelaskan. Namun, lanjutnya,
hal tersebut justru menghilangkan detail dari sebuah film.
Dulu, saat orang harus membuat sebuah film
maka mereka akan berpikir mengenai kostum dan segala macamnya. Kini, dengan
kecanggihan teknologi hal tersebut bisa diakali. Misalnya saja sebuah film
horor, untuk membuat kesan yang mencekam, sutradara ‘menteror’ penonton dengan
kamera canggih dan bunyi-bunyian. Berbeda dengan film dahulu yang bertumpu pada
alur cerita yang kuat.
Akibatnya, ketika orang keluar dari
bioskop, ia akan kesulitan untuk menceritakan film yang baru saja ia tonton. Mungkin
saja pesan yang disampaikan oleh film tersebut sampai dengan baik, tetapi
bisakah kita menyampaikan kembali pesan yang disampaikan itu? “Kalau dulu,
sinematografinya kurang tetapi orang bisa bercerita. Pola ceritanya kuat,” ujar
Eddy.
Eddy menuturkan kalau film setelah era
reformasi tidak menggambarkan budaya Indonesia. Dari hal kecil saja, misalnya
menanak nasi atau sarapan dengan menu nasi goreng. Menurutnya, kini, hal-hal
seperti itu dianggap tidak efisien, “Orang digambarkan sarapan dengan roti.
Kita jadi kehilangan kultur,” lanjutnya. Terpaan film mancanegara yang semakin
meningkat di era reformasi, menurutnya juga turut mempengaruhi. “Coba nanti
Anda tonton film ‘Macan Kemayoran’, rasanya akan sangat berbeda dengan
film-film sekarang,” tuturnya memberi saran.
aauuw, mas boy yang gaul tapi alim. kalo jaman sekarang istilahnya penghibridaan antara anak rohis dan abas (anak basket) eksis
Seperti yang disebutkan sebelumnya, film
adalah pencipta budaya, maka di dalam sebuah film terdapat ‘sesuatu’ yang
ditawarkan. ‘Sesuatu’ yang berpotensi menjadi budaya di masyarakat. Saat
membicarakan film ‘Catatan Si Boy’, tidak ada yang bisa melupakan karakter
tokoh utama yaitu Boy yang diperankan oleh Ongky Alexander, seorang anak muda
yang tidak hanya gaul dan kaya raya, tetapi
juga rajin beribadah. Tokoh Rangga dalam ‘Ada Apa dengan Cinta?’ juga
memberikan ‘sesuatu’ pada penontonnya, yaitu apresiasi dan kecintaan terhadap
karya sastra Indonesia.
Keduanya berasal dari era yang berbeda,
namun kalau mau diambil sebuah persamaan, keduanya menawarkan budaya. Budaya
yang dapat mewakili Indonesia. Tentunya, bangsa ini pasti ingin memiliki
generasi muda yang rajin beribadah dan cinta terhadap karya sastranya sendiri.
Kualitas Film Indonesia
Indonesia sedang diteror. Diteror oleh pocong,
kuntilanak, dan teman-temannya. Namun, jangan takut dengan mereka. Mereka tidak
menakutkan, malah film ini menawarkan hal lain selain rasa takut, yaitu
sensualitas. Mereka datang dalam bentuk ‘baru’ yang jauh lebih ‘berani’.
Menjamurnya film horor berbau pornografi,
tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada penonton. Kalau para produser film-film
horor vulgar berkilah dengan alasan mengikuti pasar, hal tersebut tidak
sepenuhnya benar. Menurut Eddy, produser dapat menggiring penonton menonton
film buatannya, tanpa harus mengikuti ‘pasaran’ yang ada.
Eddy menjelaskan bahwa film bagus itu
adalah film yang memiliki jalan cerita dan publikasi yang bagus. Bila produser
bisa melakukan kedua hal tersebut, otomatis penonton akan ‘tergerak’ kemaunnya
untuk menonton film yang ia buat. “Hal itulah yang tidak dimiliki
produser-produser film hantu,” tambahnya. Ia lalu mengambil contoh dengan apa
yang dilakukan oleh Mira Lesmana dan Riri Riza saat memproduseri film ‘Ada Apa
dengan Cinta?’ dan ‘Petualangan Sherina’. Menurutnya, apa yang dilakukan mereka
ini tidak mengikuti selera pasar. Mereka memikirkan betul segi cerita dan
publikasi, sehingga film itu pun sukses.
Lalu, apakah kemunculan film horor ‘bentuk
baru’ ini menandakan kemerosotan kualitas film produksi Indonesia? Menurut
Eddy, kita ambil saja segi positifnya, yaitu dari segi kuantitas, film
Indonesia semakin meningkat. Lagipula, menurutnya, sampai kapanpun, film-film
seperti itu (film horor ‘bentuk baru’) akan selalu ada. Alasannya,
antara lain karena film-film tersebut mudah untuk dibuat, tidak perlu
menggunakan bintang film berhonor mahal dan harga produksinya pun murah.
judul revolusioner melampaui EYD. I'd rather watch Sasha Grey in her native habitat -well, adult.
Eddy kembali menjelaskan, bahwa ada 3
macam film, yaitu film yang bertujuan komersial belaka, film yang bertujuan
untuk komersial namun tetap punya tanggung jawab, dan yang terakhir, film
ekspresi individu. Film-film horor berbau pornografi yang menjamur sekarang
berada dalam kategori pertama. Penontonnya pun, paling banyak mencapai angka
satu juta. Sedangkan film-film seperti ‘Laskar Pelangi’, ’Ayat-ayat Cinta’, dan
‘Ada Apa dengan Cinta?’, berada pada kategori kedua. Untuk kategori ketiga,
Eddy menaruh contoh film ‘Opera Jawa’-nya Garin Nugroho.
Untuk segi kuantitas produksi, film
kategori pertama dan kedua sebetulnya berimbang. Lalu mengapa kita merasa
film-film horor berbau pornografi tersebut lebih menjamur ketimbang yang
lainnya? “Karena diteror, ada (judul) pocong ini, pocong itu, sementara film
hiburan (film yang masuk dalam kategori kedua) judulnya lain-lain. Jadi, (film
horor) serasa banyak,” ujar Eddy memberi alasan.
Terbentur Kepentingan Daerah
Kalau mau
sukses, datanglah ke Jakarta. Mau jadi bintang film? Tinggalkan kampung halaman,
jangan lupa bermodal bakat (atau nekat), dan datanglah ke sana. Urbanisai
ternyata bukan permasalahan pemerintah saja, tetapi juga bagi para pelaku
perfilman Indonesia. Hingga saat ini, industri film masih berpusat di kota
metropolitan itu, Jakarta-sentris.
Kota
Bandung boleh bangga karena hingga saat ini masih menjadi barometer sukses
tidaknya sebuah film Indonesia. Produser-produser masih mengutamakan Kota
Bandung sebagai tujuan pemasaran filmnya. Bila sebuah film banyak meraup
penonton di Kota Bandung, niscahya film tersebut akan sukses. Hal ini
membuktikan bahwa apresiasi masyarakat Bandung terhadap sebuah film dianggap
tinggi oleh para pelaku produser film.
Sayangnya,
hal tersebut tidak terjadi bila berbicara mengenai produksi film. Hingga saat ini,
jumlah rumah produksi di Bandung masih kalah jauh dengan Jakarta. Apabila ingin
casting, seseorang harus pergi ke Jakarta. Terbilang ironis karena dalam urusan
sejarah film, Bandung tidak kalah dengan Jakarta. Menurut keterangan The Teng Chun di dalam buku Film Indonesia Bagian I adalah buatan Bandung. Besar kemungkinan yang membuat film bersuara pertama di Indonesia adalah Krugers dan Wong.
pribadi saya belum pernah nonton ni film tapi yang pasti bioskop ELITA udah tinggal nama
Menurut
Eddy, berbeda dengan musik, film tidak bisa ‘berdiri’ sendiri. Kemudahan masih
berpusat di Jakarta. “Karena di sana lebih leluasa,” jelas Eddy. Dari contoh
kecil saja, untuk urusan teknis seperti kamera, sarana dan prasarana seperti
itu lebih banyak dan terbuka di Jakarta. Istilah ada gula ada semut, di Jakarta
jumlah rumah produksi lebih banyak ketimbang di daerah, jadi para pemilik rumah
produksi lebih memilih untuk membangun usahanya di sana. Para aktor dan aktris
juga banyak bertempat tinggal di Jakarta.
Bicara mengenai film, tutur Eddy, bila
menyangkut daerah akan sulit. Banyak faktor yang akan mempengaruhi, salah
satunya masyarakat dan kepentingan daerah. Eddy menolak bila kesulitan itu
menyangkut SDM (Sumber Daya Manusia), karena menurutnya toh film independent
sudah merambat hingga ke daerah-daerah. Yang menyulitkan, bila menyangkut film
non-independent, adalah sarana dan
prasarana yang harus dibangun dari awal.
Film
boleh saja menjadi sekedar penghibur, tapi bahkan seorang penghibur pun
memiliki tanggung jawab. Kalau hanya sekedar model berpakaian dan rambut yang ‘ditelan
bulat-bulat’ dari sebuah film, mungkin masih bisa dimaafkan. Namun, apabila itu
sudah menyangkut sisi psikologis, perilaku, dan mengubah sebuah budaya ke arah
yang negatif, semua yang akan sengsara. Kita tidak bisa mengambil kembali umpan
yang sudah termakan, kan?
0 comments