Saya ingat sekali hari itu. Saya dan teman-teman satu kantor sedang duduk makan siang di hari yang menjemukan. Tetiba seorang teman berceletuk, "Eh masa ada berita seorang penyanyi dangdut mati dipatuk ular!" Kala itu jujur saja, saya tidak bisa menahan tawa. Ya, saya tahu itu sangat tidak pantas tetapi tawa itu seperti reaksi otomatis yang sulit dihindari. Ada dua alasan utama: 1.) Judul sensasional yang sangat 'norak' akan pemberitaan tersebut dan 2.) Penyanyi dangdut meninggal dipatuk ular???? Serius??! Terlalu konyol dan absurd.
Kami lalu mencari-cari video sang penyanyi ketika tampil. Layaknya biduan dangdut pantura, ia memakai pakaian aduhay. Hanya saja ada ular yang melilit di lehernya. Ia bernyanyi di hadapan banyak orang yang kebanyakan bocah. Ada adegan sang biduan melempar si ular ke lantai. Saya sempat berpikir bahwa tak heran jika kemudian hari si ular 'balas dendam'. Ia menganggap makhluk hidup itu sebagai properti belaka. Pikiran itu masih terus bertahan hingga akhirnya hari ini.
Seorang teman me-repost artikel TIME tentang sang biduan. Ternyata kematian sang biduan juga menjadi headline di media internasional. Artikel berjudul Here’s the Real Story Behind the Indonesian Singer Irma Bule, Who Died From a Cobra Bite oleh Yenni Kwok ini menyadarkan sikap sarkas nan apatis saya dan mungkin ribuan masyarakat Indonesia lainnya. Bahwa memang di balik peristiwa absurd nan konyol di negara dunia ketiga akan selalu ada kisah ironis. Termasuk kematian Irma Bule ini.
Irma Bule bernama asli Irmawati adalah ibu beranak tiga. Berusia 26 tahun dan sudah menjadi biduan dangdut sejak lulus SMP. Ia biasa tampil dari satu kampung ke kampung lainnya demi memenuhi kebutuhan keluarga. Alasan ia menggunakan ular adalah untuk menarik banyak masa dan tentunya honor yang lebih besar yang juga tak seberapa. Hingga akhirnya ia meninggal dipatuk ular kobra adalah sebuah kisah ironis dari hal yang dinamakan kemiskinan.
Saya tetap tidak setuju dengan cara sang biduan dan orang-orang yang mendukung di baliknya memperlakukan sang ular. Namun, saya juga tidak terima cara media kuning memberitakan kematian sang biduan. Kwok menulis "She certainly doesn’t deserve to die amid a storm of lurid, tabloid headlines." Kematian Irma dan siapapun tak pantas diberitakan dengan cara 'sensasional tak berkelas' seperti itu. Kematian adalah kematian. Tak peduli bagaimana prosesnya, ia adalah duka. Dan mengeksploitasi duka untuk sebuah keuntungan tak pernah manusiawi.
Kemudian Kwok mengutip tulisan jurnalis Indonesia Made Supriatna yang mengatakan, “She fights hard. She exploits what she can exploit to go on living." Dan pada akhirnya saya melihat bahwa hidup memang lingkaran karma yang tak pernah putus. Irma mengeksplotasi ular untuk mencari nafkah dan para reporter media kuning mengeksploitasi kematian Irma juga untuk penghidupan.
Di negara dunia ketiga, ketika kemiskinan menjadi pemandangan biasa dan prihatin sekadar kata tanpa rasa, semua menjadi lumrah atas nama mencari nafkah.